top of page
Selamat Datang
from Founder Phiphi Kaplan
 
 
No problem can be solved from the same level of consciousness that created it.
- Albert Einstein

 
 
Welcome to our first newsletter.  I promise not to bombard you with updates too frequently, perhaps 2-3 times a year.  I’d like to keep you informed of the challenges, developments and incremental successes of our labors.  As a startup, it’s enormously exciting and at times exhausting as we attempt to reinvent the wheel over here; there is no prototype for land conservation in Bali.  
 
We, as a team, are working hard. For those of you who have never been to Bali, the Balinese are extremely welcoming and warm.  They tend to be extremely social and joking, teasing and being just a little bit “nakal” (naughty) is all part of the day. Wry jokes and laughter diffuse tension or a misunderstanding and I really appreciate it.  Working with the Balinese is a welcome lesson in balance.
 
Yet, Sawah Bali’s mission is a direct outcome of a certain part of Balinese society falling out of balance. As the Indonesian government changed its system to a democracy in 1998, there were many important reforms made socially and politically. Economically, it was predicted to be more stable and  international investment expanded rapidly.  Bali had a degree of semi autonomy, allowing direct access to Indonesia’s primary and encouraging tourist industry. This economic engine was ramping up to another level and opportunism vanquished quality for a more expedient quantity. Land use planning was not enforced and one by one tracts of food producing heritage sawah were sold. Capitalism and greed were the mindset, and the mindset never considered collateral damage; loss of culture, ironically the essential reason that tourism had flourished.
 
 
In November 2013, The World Culture Forum was held in Bali. Its topic was “The Power of Culture in Sustainable Development”. Initiated by the President of Indonesia H.E Mr. Susilo Bambang Yudhoyono, he encouraged new development policies and strategies to contain holistic integrations with cultural dimensions being the driver of sustainable development.  
 
It’s going to take a broad overhaul, a rebalancing of the Balinese governments’ priorities at every level as well as those individuals who see selling their land for development as the key to their own happiness.
 
Sawah Bali intends to be part of the solution, along with the majority of Balinese citizens who want to reclaim balance of their singular island culture.​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​
 

 

--------------------------------------------------------------

 

Selamat Datang
dari Founder Phiphi Kaplan

 

 

“Tidak ada masalah yang dapat diselesaikan dari tingkat kesadaran yang sama yang menciptakannya”  
-Albert Einstein

 

 

Selamat datang di Newsletter perdana kami. Saya kerjanji tidak akan membanjiri Anda dengan berbagai perkembangan terkini kami terlalu sering. Kami akan mengabari Anda dengan perkembangan terkini kami mungkin setiap 2-3 kali dalam setahun. Saya ingin menginformasikan kepada Anda tentang beragam tantangan, perkembangan, dan keberhasilan kegiatan kami. Kami mengawali kegiatan kami dengan mengorbankan banyak tenaga dan waktu, sebab tidak ada contoh program konservasi lahan sebelumnya di Bali. 

 

Kami, sebagai sebuah tim, bekerja dengan sangat giat. Bagi Anda yang belum pernah berkunjung ke Bali, perlu Anda ketahui bahwa masyarakat Bali sangatlah baik dan ramah. Masyarakat Bali kebanyakan sangat senang bercengkrama, bersenda gurau, dan walaupun terkadang gurauan mereka sedikit “nakal”, namun itu semua telah menjadi bagian dari kehidupan mereka. Kelakar dan gurauan mereka mampu mengurangi ketegangan dan kesalahpahaman dan saya sangat menghargai hal itu. Bekerja sama dengan masyarakat Bali merupakan pelajaran yang berharga bagi saya.

 

Namun, misi dari Sawah Bali terlahir sebagai akibat dari sebagian norma dan kebiasaan masyarakat Bali yang menurun. Ketika Pemerintah Indonesia mengubah sistem politik Negara Indonesia menjadi Demokrasi pada tahun 1998, terdapat banyak reformasi penting yang terjadi baik dalam aspek sosial maupun politik. Aspek ekonomi diprediksikan stabil dan investasi asing meningkat secara drastis. Bali memiliki hak semi otonomi. Hal ini menyebabkan Bali dapat mengakses secara langsung industri pariwisata Indonesia yang merupakan industri utama dan membanggakan di Indonesia. Kemudian, sektor ekonomi Bali pun meningkat drastis sehingga menjadi peluang bagi kaum oportunis untuk meraup keuntungan walaupun usaha yang mereka lakukan dapat mengurangi kualitas pariwisata Bali dengan mengutamakan kuantitas. Perencanaan tata guna lahan tidak dilakukan dengan baik dan satu per satu lahan sumber penghasil makanan secara turun temurun di Bali yaitu sawah dijual. Kapitalisme dan kerakusan (lobha) menjadi pola pikir utama. Namun hal ini tidaklah dianggap sebagai sebuah penurunan, kerusakan, atau bahkan bagian budaya yang hilang. Ironisnya, pola pikir semacam ini seakan menjadi alasan utama pariwisata di Bali berkembang pesat.Pada Bulan November 2013, Forum Budaya Dunia (The World Culture Forum) diadakan di Bali. Topik pada forum tersebut adalah “Kekuatan Budaya dalam Pembangunan yang Berkelanjutan”. Forum ini dibuka secara resmi oleh Presiden Republik Indonesia, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono. Beliau mendukung adanya perkembangan kebijakan dan strategi baru yang mengintegrasikan dimensi budaya sebagai landasan dalam pembangunan yang berkelanjutan.

Hal ini membutuhkan perombakan massal untuk meninjau kembali prioritas Pemerintah Provinsi Bali pada tiap tingkat pemerintahan dan juga pada pola pikir masyarakat yang berasumsi menjual lahan mereka merupakan kunci kebahagiaan bagi mereka.

Sawah Bali, bersama dengan mayoritas masyarakat Bali yang ingin mengembalikan keseimbangan budaya Bali, berniat untuk menjadi bagian dari solusi permasalahan ini.

Newsletter Spring 2014
bottom of page